Bahaya dan Implikasi Buruk Riba
Syari’at islam
tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada
kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu
yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian juga
larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia,
diantaranya:
- Berbahaya bagi akhlak
dan kejiwaan manusia.
kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu sehingga dapat
mengambil hutang dari debitor. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak
adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi
(pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap
persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
- bahaya dalam kemasyarakatan
dan sosial.
Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan,
karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling
bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya
sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail
dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran
modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung.
(Al-Riba Wa Mua’malat al-Mashrofiyah hal. 172)
- Bahaya terhadap
perekonomian.
Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada
hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil.
Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi
persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan
baik kecuali –setelah izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan
pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan
demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya
harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga
terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha
mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain
Riba juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi
bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif
untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba.
Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi
para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa
kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan
orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin
melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur
tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu
pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاء
“Rasulullah melaknat pemakan
riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua
orang saksinya, semuanya sama saja.”
Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi
satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus
padanya.
Definisi Riba
1. Pengertian
Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian
“tambahan atau pertumbuhan”.
2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam
beberapa definisi, diantaranya:tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari
dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.Yang dimaksud dengan ‘tambahan’
secara definitive:
a. Tambahan
kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan
kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak,
gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang
disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma
misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung.
Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar
atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan
dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga
hutang.
c. Tambahan yang
ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang
diharuskan adanya serah terima langsung.
Kalau emas dijual dengan perak, atau Rupiah dengan Dollar
misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan
salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama
lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ
فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ
فِيْهِ الْقَبْض
“Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan
sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya”
الزِّيَادَةُ
أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta
tertentu.”
Sedangkan Syeikh
Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ
فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
“Tambahan dalam jual beli dua komoditi
ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at.” (Syarhul
Mumti’8/387)
Jenis Riba
- Riba Jahiliyah atau
Riba Al Qard (hutang), yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran
(Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal
tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39). Inilah riba yang pertama
kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُون
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi
wa sallam:
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا
أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus dan
awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang
seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).
Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi
kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang
diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’
fatawa 29/419, I’lam
AlMuwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)
Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah
Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif,
diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah:
“Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika
tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya.
Akhirnya ia berkata: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.”
Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah
jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara
melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur
binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan
kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau
uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah
bentuknya sebagai berikut: Ada
seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang
waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu
membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani
Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka
berkata: “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong
ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali
Imran: 130)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in:
“Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh
masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang
namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah
jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.” (Lihat
I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak
diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia
berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan
lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa
pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun
dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar
sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar
secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan
sesuai dengan kesepakatan bersama.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain
kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah
adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau
bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan
kebatilannya dan mengharamkannya.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan
Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang
sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa
mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya,
sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta
kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka
tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah
jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.”
(Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)
Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang
populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya
kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil
sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah
piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang
dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan
ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.” (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil
Kabaa-ir 1/222)
- Riba jual beli. Yaitu riba yang
terdapat pada penjualan komoditi riba fadhl. Komoditi riba fadhl yang
disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Riba jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba
nasii-ah.
- Riba Fadhl
Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam
terminologi ulama adalah
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan pada salah satu
dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).
Atau ada yang mendefinisikan dengan:
Kelebihan pada salah satu
dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl atau
tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya.
Seperti menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual
atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan
secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam
jual beli komoditi riba fadhl.
Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar:
- Hadits Ubadah bin
Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi
wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan
emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya
dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan
kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”. (Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan
perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya
3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253,
2254)
- Hadits Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda:
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ
بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا
بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian
menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual
sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual yang
tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (H
Al BukhariSedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas ditukar dengan emas,
perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya, dan
harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang menambah atau minta tambahan
maka telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi hukumnya sama.”
- Hadits Al Bara’ bin
‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas secara tempo
(hutang)”. (HR Al Bukhari).
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alahi
wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan
oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam
sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhl. Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim. Ada
juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada
yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
0 Response to "Bahaya dan Implikasi Buruk Riba"
Post a Comment